Asal Usul Banyuwangi

Pada zaman dahulu, di ujung timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Blambangan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang arif bijaksana.

Sang raja mempunyai seorang anak laki-laki dari istri permaisurinya yang cantik jelita. Karena hanya dia saja yang merupakan anak lelaki sang raja, maka secara otomatis dia diangkat sebagai putra mahkota. Nama putra mahkota sang raja tersebut adalah Raden Banterang.

Raden Banterang merupakan sosok pemuda yang gagah dan tampan. Selain memiliki wajah yang tampan dia juga dikarunia keahlian bela diri yang cukup mumpuni, Sang pangeran mempunyai hobi berburu. Dalam berburu tidak jarang dia melakukannya seorang diri tanpa pengawalan pasukan istana.

Pada suatu masa, Kerajaan Blambangan terlibat perselisihan dengan Kerajaan Klungkungi di Bali. Karena jalan damai tidak mampu menyelesaikan masalah, maka Raja Blambangan mengirimkan pasukannya untuk menyerang kerajaan di seberangnya tersebut. Raden Banterang ditunjuk sebagai panglima perang oleh ayahnya.

Dalam waktu singkat Kerajaan Klungkung berhasil dikalahkan oleh pasukan Blambangan yang dipimpin oleh Banterang. Putra raja Klungkung yang bernama Rupaksa dan adik perempuannya yang bernama Surati melarikan diri untuk menyelamatkan diri, sedangkan sang Raja Klungkung gugur dalam pertempuran itu.

Saat tiba di suatu hutan, Rupaksa meminta adiknya untuk menunggunya sebentar. Dia mau berburu untuk makan mereka, namun saat berburu Rupaksa jatuh terperosok ke dalam jurang. Sedangkan Surati yang menunggu terlalu lama, akhirnya pergi mencari kakaknya sambil terus berjalan ke arah barat. Di sisi lain hutan, terlihat seorang pemuda gagah sedang berburu.

Dalam perburuannya itu dia mengejar seekor kijang, namun kijang tersebut akhirnya menghilang di dekat sebuah sungai. Saat sedang mencari kijang tersebut, mata sang pangeran terbelalak melihat ada wanita cantik yang sedang mandi di sungai.

Raden Banterang lalu menghampiri wanita tersebut. Kemudian Banterang mengajak wanita itu untuk ikut pulang ke rumahnya. Akhirnya Surati dan Banterang pun pulang ke keraton tempat tinggal Banterang. Setelah beberapa lama, api cinta timbul di antara mereka. Dengan restu dari sang raja, Banterang akhirnya menikahi Surati.

Waktu terus berganti, dan suatu waktu Raden Banterang pamit berburu kepada istrinya. Saat Raden Banterang sedang berburu tersebut, Surati didatangi Rupaksa kakak kandungnya di dalam kaputren kerajaan. Saat itulah Rupaksa menceritakan siapa sebenarnya Banterang.

Rupaksa lalu meminta Surati untuk membalas dendam, namun Surati menolak permintaan Rupaksa. Kemudian Rupaksa memberi ikat kepalanya kepada Surati, dan meminta Surati untuk menyimpannya di bawah tempat tidur.

Sementara di hutan tempat biasa Banterang berburu, sang putra mahkota tersebut terus asyik berburu. Saat itulah Banterang ditemui lelaki misterius yang tidak lain adalah Rupaksa, kakak kandung Surati istrinya.

Rupaksa lalu menghasut Banterang, bahwa istrinya merencanakan untuk membunuhnya. Banterang yang tidak langsung percaya menanyakan bukti pernyataan Rupaksa, lalu sebagai buktinya Rupaksa meminta Banterang untuk mencari ikat kepala di bawah tempat tidur.

Banterang termenung mendengar kata-kata tersebut. Saat melihat hal itu Rupaksa segera pergi menghilang, karena yakin Banterang telah termakan oleh fitnahannya terhadap istri Banterang yang tidak lain adik kandungnya sendiri. Kemudian Banterang segera pulang ke istananya.

Setibanya di istana, dia menggeledah bagian bawah ranjangnya. Saat itulah dia menemukan ikat kepala seperti yang Rupaksa katakan. Api amarah langsung membakar jiwanya, dan dia segera mencari istrinya yang sedang bercengkerama dengan para dayangnya.

Banterang lalu menarik tangan istrinya dengan kasar, Banterang yang telah dibakar amarah tidak lagi dapat bersikap lembut terhadap wanita yang merupakan istrinya sendiri. Surati pun mengikuti suaminya tersebut dengan beragam tanya di benaknya.

Setibanya di tepian suatu sungai yang lebar dan berair jernih, Banterang menghentikan langkahnya. Banterang lalu mengeluarkan ikat kepala yang ditemukannya di bawah ranjang tidurnya. Surati lalu menjelaskan asal usul ikat kepala itu, namun Banterang tidak mempercayai istrinya itu.

Surati yang pasrah jika suaminya tidak percaya padanya, maka Surati pun mempersilahkan suaminya untuk membunuhnya. Namun Surati memperingatkan Banterang, jika nanti air ini berbau harum maka Surati tidak bersalah. Tapi jika air sungai ini berbau amis, maka Surati bersalah.

Banterang segera menghunus keris yang terselip di punggungnya. Belum sempat keris itu menghunjam dada Surati, segera Surati melompat ke sungai tersebut. Tidak lama kemudian tubuh Surati tenggelam ke dalam sungai, dan bersamaan dengan itu tiba-tiba dari air sungai itu tercium bau harum mewangi.

Banterang yang mencium bau itu sontak menangis tersedu-sedu, dia menyesal kemarahannya yang membabi buta telah menyebabkan kematian istrinya yang tercinta. Beberapa kali lidahnya mendesis menyebutkan kata Banyune wangi. Berdasar kejadian itulah, akhirnya nama daerah tersebut berganti menjadi BANYUWANGI yang berarti air yang harum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *